Dark Mode Light Mode

Keep Up to Date with the Most Important News

By pressing the Subscribe button, you confirm that you have read and are agreeing to our Privacy Policy and Terms of Use
Follow Us
Follow Us

Berhenti Menyembah “Proses”, Mulai “Mengerjakan”

gajah-di-ruang-kelas-atau-studio-konsep-sebuah-metafora-visual-yang-menggambarkan-gajah-masa.jpg gajah-di-ruang-kelas-atau-studio-konsep-sebuah-metafora-visual-yang-menggambarkan-gajah-masa.jpg
Desain Thingking vs Bite size approach

Gua inget banget, dulu waktu masih maba (mahasiswa baru) yang cupu, ada satu senior angkatan atas sebut saja Kang Deni, yang influence-nya gede di kampus. Dia nggak banyak ngomong teori di kelas, tapi kalau lagi ngopi di kantin, ilmunya daging semua.

Suatu hari, gua curhat soal tugas layout yang nggak kelar-kelar karena stuck di awal. Dia nyeruput kopinya, terus bilang, “Bro, lo kebanyakan mikir. Pakai ‘Bite System’ aja.”

“Apaan tuh, Kang?”

“Nggak usah mikirin tugasnya. Pikirin aja satu gigitan. Hari ini, ‘gigitan’ lo cuma nyari font. Besok, ‘gigitan’ lo cuma bikin grid. Gitu aja terus sampe jadi.”

Ilmu itu nempel di kepala gua. “Bite System”. Kedengarannya mentah, praktis, dan brutal. Dan itu berhasil.

Bertahun-tahun kemudian, setelah lulus dan mulai kerja, gua coba iseng nyari teori itu. Gua pengen tahu landasan akademisnya. Gua obrak-abrik Google. Gua bongkar database jurnal online. Gua tanya ke sesama desainer di forum-forum underground. Gua cari sampai ke lubang tikus internet.

Hasilnya? Zonk. Nggak ada hidungnya sama sekali.

Nggak ada satu pun profesor terhormat atau buku teks tebal yang pernah nulis soal “Bite System”.

Tapi pencarian itu nggak sia-sia. Gua nggak nemu “Bite System”, tapi gua nemu sepupunya yang lebih proper: “Bite-Sized Approach”.

Gua sadar. Senior gua dulu mungkin cuma bikin istilah sendiri, tapi konsepnya nyata. Itu adalah metode gerilya yang dipakai praktisi di lapangan biar nggak gila. Sebuah kearifan lokal studio desain yang kotor, bukan teori bersih ruang seminar.

Dan ironisnya, di saat yang sama gua menemukan kembali metode “gerilya” ini, gua lihat kampus gua, almamater gua, dan semua kampus DKV lainnya, lagi terserang “sihir” baru.

Semua dosen, dari yang muda sampai yang tua, tiba-tiba jadi konsultan. Mereka nggak lagi ngomongin Gestalt atau Semiotika dengan semangat. Yang mereka ulang-ulang kayak mantra adalah lima kata sakti: Empathize, Define, Ideate, Prototype, Test.

Ya. Design Thinking.

Seluruh kurikulum seolah dirombak buat mengadopsi ini. Ruang kelas penuh dengan sticky notes warna-warni. Mahasiswa nggak lagi disuruh bikin poster, tapi disuruh “mencari solusi masalah kantin” pakai empathy map.

Di sinilah gua sadar: ada yang salah.

Kita diajari sebuah proses megah yang (katanya) bisa memecahkan masalah apa pun, tapi kita melupakan cara paling dasar untuk memulai pekerjaan.

Ini bikin gua gatal. Gua pengen bikin pertarungan.

Mari kita siapkan ring tinjunya. Mari kita adu, antara “sihir” yang dijual mahal di seminar, melawan “ilmu gerilya” yang diajarkan di kantin kampus.


Pertarungan di Meja Desain: Design Thinking vs. Bite-Sized Approach

Di sudut biru, kita punya Sang Juara bertahan, idola kampus, kesayangan korporat: Design Thinking.

Dia masuk ke ruangan diiringi tepuk tangan, membawa tas penuh sticky notes warna-warni, spidol fancy, dan whiteboard segede gaban. Dia adalah sebuah event. Sebuah workshop tiga hari di hotel mewah. Dia adalah “proses kolaboratif yang berpusat pada manusia.” Keren. Mahal.

Di sudut merah, penantangnya… nggak ada yang kenal. Dia nggak punya nama keren. Dia adalah “Bite-Sized Approach” (Metode Gigitan Kecil), si anak bawang dari kantin.

Dia nggak punya event. Dia cuma secangkir kopi hitam yang udah dingin, selembar to-do list di buku catatan lecek, dan tatapan mata lelah seorang desainer di depan layar laptop jam 2 pagi. Dia bukan teori. Dia adalah realita.

desain thinking vs bite size approach

Ronde 1: “Memulai” (Melawan Prokrastinasi)

Masalah: Klien datang minta rebranding total. Briefnya 20 halaman. Deadline 2 minggu.

Langkah Design Thinking:

“Oke, tim. Minggu ini kita jadwalkan sesi Empathize. Kita panggil 10 user, kita wawancara. Kita kumpulkan insight. Lalu kita bikin user persona dan empathy map.”

  • Hasil: Tiga hari habis buat meeting dan nempel sticky notes. Desainer belum buka Illustrator sama sekali. Proyeknya terasa makin besar, makin mustahil.

Langkah “Bite-Sized Approach”:

Desainer panik. Buka brief 20 halaman. Keselek. Lalu dia tarik napas dan bilang:

“Oke, fuck this. Gue nggak rebranding hari ini. Tugas gue hari ini cuma satu ‘gigitan’: Mencari 10 referensi logo kompetitor.”

Besoknya: “Gigitan gue hari ini: Sketsa 20 logo jelek di kertas.”

Besoknya lagi: “Gigitan gue: Milih 3 sketsa terbaik dan digitalisasi.”

  • Hasil: Tiga hari habis, dia sudah punya 3 draf logo solid. Momentum terbangun. Prokrastinasi mati kutu.

Pemenang: “Bite-Sized Approach”.

Kenapa? Karena Design Thinking adalah cara “memahami gajah”. Bite-Sized adalah cara “memakan gajah itu satu gigitan sekali telan”. Kita dibayar untuk makan gajahnya, Bro, bukan cuma buat ngukur lingkar pinggangnya.

Ronde 2: “Proses Kreatif” (Menjaga Kewarasan)

Masalah: Mencari konsep visual untuk sebuah campaign iklan.

Langkah Design Thinking:

Prosesnya kaku. Kamu harus Define masalahnya dulu. Baru boleh Ideate. Nggak boleh Prototype sebelum Ideate-nya disetujui bersama. Ini adalah proses linier yang (katanya) aman.

  • Hasil: Prosesnya jadi birokratis. Ide-ide liar yang muncul di tengah jalan sering “ditunda” karena “belum masuk tahapnya”. Kreativitas yang harusnya cair jadi kayak ngisi formulir pajak.

Langkah “Bite-Sized Approach”:

Prosesnya adalah kekacauan yang terkendali.

Kamu lagi riset (Empathize), tiba-tiba dapat ide layout gila (Ideate). Kamu langsung buka Figma, kamu bikin draf kasarnya (Prototype). Habis itu kamu lihat drafnya dan kamu sadar masalahnya apa (Define).

  • Hasil: Kamu lompat-lompat antar tahapan seenak jidat. Kenapa? Karena otak kreatif nggak bekerja linear 1-2-3-4-5. Otak kreatif itu parkour. Metode ini mengizinkanmu parkour tanpa merasa bersalah.

Pemenang: “Bite-Sized Approach”.

Design Thinking itu kayak tour guide yang maksa rombongan jalan bareng. Bite-Sized itu solo traveling. Kamu tahu tujuannya, tapi kamu bebas mau lewat gang tikus mana pun.

Ronde 3: “Output” (Yang Sebenarnya Dikerjakan)

Masalah: Apa hasil akhirnya?

Langkah Design Thinking:

Hasil akhirnya seringkali BUKAN desain. Hasil akhirnya adalah presentasi PowerPoint 50 halaman yang berisi insight, journey map, diagram, dan validasi. Desainnya cuma 3 slide terakhir.

  • Kenapa disukai korporat? Karena ini “aman”. Kelihatan “ilmiah”. Kalau gagal, yang disalahkan prosesnya, bukan desainernya. Ini adalah asuransi birokrasi.

Langkah “Bite-Sized Approach”:

Hasil akhirnya adalah DESAIN.

Sebuah logo. Sebuah layout poster. Sebuah mockup aplikasi. Sesuatu yang nyata, yang bisa dilihat, yang bisa dikritik.

  • Kenapa ini menakutkan? Karena ini telanjang. Nggak ada tumpukan sticky notes buat ngumpet. Kalau jelek, ya jelek. Tapi kalau bagus, ya bagus. Ini adalah kerjaan desainer yang sebenarnya.

Pemenang: “Bite-Sized Approach”.

Design Thinking adalah cara menjual proses ke klien. Bite-Sized adalah cara mengerjakan output-nya.


Vonis Akhir

Jadi, apakah Design Thinking itu sampah?

Nggak juga. Design Thinking itu berguna, tapi sebagai peta makro. Dia berguna untuk proyek super kompleks yang melibatkan 10 departemen berbeda, di mana masalahnya aja belum jelas.

Tapi kampus dan para konsultan salah kaprah. Mereka mengajari kita bahwa peta itu adalah jalannya. Mereka memaksa kita memakai metodologi level corporate strategy untuk tugas harian seorang desainer.

Itu konyol.

Kita nggak butuh workshop 5 hari untuk mendesain logo. Kita nggak butuh empathy map untuk milih font.

Kita butuh kopi. Kita butuh momentum. Dan kita butuh kemampuan untuk melihat “gajah” yang mengerikan di depan kita, lalu dengan tenang mengambil pisau dan garpu, dan berkata:

“Oke. Satu gigitan dulu.”

Artikel Terkait Produktivitas:

  1. “RIP Designer atau Revolusi? Membongkar Mitos Kematian Kreatif di Era Teknologi AI”
  2. “Tips Menghadapi Kritik Dosen DKV untuk Mahasiswa Desain”
  3. “Studi Kasus: Mengapa Banyak Desainer Grafis Hijrah Karier?”
  4. “Dosen Desain vs Desainer Industri: Who Wins?”

❓ FAQ

1. Apa itu Bite-Sized Approach dalam desain?

Bite-Sized Approach adalah metode kerja yang memecah proyek besar menjadi tugas-tugas kecil yang bisa diselesaikan dalam waktu singkat (15-30 menit). Berbeda dengan Design Thinking yang fokus pada proses panjang, metode ini menekankan pada action dan hasil cepat.

2. Kapan sebaiknya menggunakan Design Thinking vs Bite-Sized?

Design Thinking cocok untuk:

  • Proyek kompleks dengan tim besar
  • Riset mendalam untuk produk baru
  • Klien korporat dengan budget besar

Bite-Sized cocok untuk:

  • Freelancer dan desainer solo
  • Proyek dengan deadline ketat
  • Mengatasi creative block dan prokrastinasi

3. Bagaimana cara memulai Bite-Sized Approach?

  • Pilih satu tugas kecil (misal: buat 3 sketsa logo)
  • Set timer 25 menit
  • Kerjakan tanpa distraksi
  • Evaluasi hasil, bukan proses
  • Ulangi untuk tugas berikutnya

4. Apakah Bite-Sized Approach anti-riset?

Tidak. Riset tetap penting, tapi dilakukan secara pragmatis. Alih-alih riset berbulan-bulan, lakukan riset cepat 1-2 jam, langsung eksekusi, lalu iterasi berdasarkan feedback.

5. Bagaimana mengatasi perfeksionisme dengan metode ini?

Bite-Sized Approach justru obat untuk perfeksionisme. Dengan deadline pendek, Anda dipaksa menyelesaikan tanpa overthinking. Ingat: “Done is better than perfect.”

Keep Up to Date with the Most Important News

By pressing the Subscribe button, you confirm that you have read and are agreeing to our Privacy Policy and Terms of Use
Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post
"Branding Visual Pasar Seni ITB 2025 dengan estetika Y2K Acid Graphics"

Efisiensi Template vs Warisan Konseptual: Kritik Desain Pasar Seni ITB 2025

Next Post
"Metodologi Pasca-Prompt: Alternatif Design Thinking Era AI"

KEMATIAN "PROSES": Mengapa Dosenmu Masih Menyembah Design Thinking Saat Kita Sudah di Era Metodologi Pasca-Prompt?