“Waktu membuktikan bahwa desain terhebat bukanlah yang paling ramai dibicarakan, melainkan yang paling sedikit berkata-kata dan paling lama bertahan.” – Obrolan Serius di Meja Kopi, Yogyakarta, 2025
Narator: Yogyakarta selalu punya cara untuk menarik kami kembali. Di tengah hiruk pikuk agenda dan tekanan deadline di Bandung, saya dan istri saya seorang Doktor di bidang Seni Rupa dan Desain selalu mencoba mencuri waktu untuk sebuah liburan singkat. Malam itu, udara di teras belakang hotel kami terasa tenang, berpadu dengan aroma Gudeg Pawon yang baru kami santap. Kami sepakat, ini bukan sekadar liburan; ini adalah sesi napak tilas dan recharge filosofis. Setelah menganalisis peran asosiasi profesi yang penuh intrik minggu lalu, malam ini kami memilih topik yang lebih abadi: Candi Borobudur. Saya meletakkan draft catatan Borobudur di meja, siap memulai diskusi, sementara istri saya menikmati kopi, wajahnya menyiratkan pemahaman yang mendalam
Ibu Doktor: “Malam ini indah, Yah. Rasanya energi Jogja ini selalu memaksa kita untuk melihat hal-hal lama dari sudut pandang baru. Sama seperti ketika kita melihat Borobudur.”
Narator: Saya tersenyum, meletakkan draft catatan Borobudur. “Tepat sekali, Bun. Setelah menganalisis peran asosiasi profesi minggu lalu, sekarang kita akan membedah filosofi masterpiece DKV terbesar di Asia Tenggara. Kita bicara flowchart modern, tapi yang kita hadapi ini adalah sebuah design system yang umurnya ribuan tahun.”
[DISCLAIMER AWAL DARI REDAKSI]
Artikel ini adalah analisis kritis interpretatif terhadap Borobudur dari sudut pandang Desain Komunikasi Visual (DKV) dan User Experience (UX). Artikel ini tidak bertujuan menggantikan kajian Arkeologi atau Sejarah murni, melainkan menggunakan Borobudur sebagai studi kasus untuk memahami kedalaman narasi visual Nusantara.
Investigasi Visual: Borobudur Sebagai Narrative Design
Ibu Doktor: “Kita harus berhenti memandang Borobudur hanya sebagai ‘tumpukan batu’. Itu adalah karya arsitektur dengan desain naratif. Pertanyaannya, bagaimana arsitektur tersebut mampu membimbing peziarah mencapai pencerahan hanya melalui susunan visual dan ruang kosong? Itu adalah tantangan terbesar bagi dunia Desain Komunikasi Visual.”
Narator: “Tiga zona candi ini mewakili tiga kondisi user atau peziarah yang dipandu dari chaos menuju Zen.”
Zona Desain I: Kamadhatu (The First Scroll – Nafsu Duniawi)
Konsep DKV: The Visual Shock
Ibu Doktor:“Ini adalah level di mana pengguna masih bingung. Desain pada level ini sebaiknya penuh dengan detail, ramai, dan terasa menonjol seperti feed media sosial kita. Tujuannya: menarik perhatian sebelum mengarahkan ke langkah selanjutnya.” Fakta Borobudur: Relief Kamadhatu (yang kini tertutup) menggambarkan hukum sebab-akibat duniawi (Karmawibhangga). Penuh konflik, sarat makna, dan sangat realistis.
Zona Desain II: Rupadhatu (The Body – Bentuk dan Cerita)
Konsep DKV: Guided Storytelling & Visual Hierarchy
Narator: “Pada level ini, terdapat pengurangan kebisingan visual. Relief yang ditampilkan berupa cerita bersambung seperti Jataka dan Lalitavistara. Proses ini merupakan onboarding yang cukup panjang. Prinsip desain yang digunakan adalah: Repetisi (ribuan panel cerita) untuk tujuan edukasi, serta Jalur Tunggal (tawaf) untuk memastikan pengguna tidak tersesat.
Zona Desain III: Arupadhatu (The Head – Kekosongan dan Zen Design)
Konsep DKV: Minimalism & Content Strategy
Ibu Doktor: “Ini adalah tujuan akhir. Di sini, Borobudur menerapkan prinsip pengurangan visual (negasi bentuk) secara ekstrem. Seperti yang dijelaskan oleh Bernet Kempers dalam *Ancient Indonesian Art*, tujuan utama Arupadhatu adalah memicu kontemplasi nirwana melalui peniadaan bentuk. Borobudur berhasil mencapai tujuan tersebut.””
Bayangkan jika arsitek Borobudur melakukan A/B Testing: membandingkan respons peziarah yang disuguhi relief penuh detail dengan mereka yang hanya disuguhi ‘kekosongan’. Kemenangan ada pada desain yang menghadirkan keheningan visual di puncak. Desain ini membuktikan bahwa apa yang dihilangkan seringkali memiliki kekuatan lebih besar daripada apa yang ditambahkan—prinsip yang relevan dengan filosofi arsitektur modern Mies van der Rohe: Less is More, jauh sebelum zamannya. Ini mencerminkan kedalaman pemikiran yang melampaui era tersebut.
Penutup
Obrolan malam itu menegaskan: Desain visual Indonesia memiliki akar filosofis yang luar biasa kompleks. Borobudur bukan hanya warisan, Ia adalah kurikulum visual yang harus kita ajarkan ulang, sebagai pengingat bahwa desain terhebat adalah yang paling sedikit berkata-kata.
Daftar Referensi yang Digunakan (Untuk Kredibilitas Akademis):
- Bernet Kempers, A.J. (1959). Ancient Indonesian Art. Harvard University Press.
- Gombrich, E.H. (2006). The Story of Art (16th ed.). Phaidon Press. (Untuk konteks seni visual umum)
- Coedès, George. (1968). The Indianized States of Southeast Asia. East-West Center Press. (Untuk konteks sejarah Asia Tenggara)