Dark Mode Light Mode

Keep Up to Date with the Most Important News

By pressing the Subscribe button, you confirm that you have read and are agreeing to our Privacy Policy and Terms of Use
Follow Us
Follow Us

Desain Tradisional Nusantara: Warisan Estetika yang Terus Bernapas

Didi Subandi
foto.ibenk.88 | istock

Didi Subandi

Di antara labirin perbukitan kapur Maros-Pangkep yang terjal di Sulawesi Selatan, seorang arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (ARKENAS), Adhi Agus Oktaviana, bersama timnya, menelusuri gua-gua tersembunyi. Selama bertahun-tahun, mereka mendokumentasikan jejak-jejak kehidupan purba yang menempel di dinding-dinding batu: ratusan cap tangan berwarna merah oker dan lukisan-lukisan hewan yang telah memudar. Awalnya, gambar-gambar ini mungkin tampak seperti peninggalan biasa, bukti kehadiran manusia prasejarah. Namun, ketika analisis penanggalan uranium-series terhadap lukisan seekor babi rusa di gua Leang Tedongnge mengungkap usianya—lebih dari 45.500 tahun—dunia arkeologi tersentak.

Penemuan nyata ini, yang dipublikasikan di jurnal sains internasional, bukan lagi sekadar anekdot. Ia adalah bukti ilmiah yang kokoh, sebuah prolog mengejutkan bagi kisah besar peradaban Nusantara. Temuan tim Adhi Agus Oktaviana ini menjadi pembuka tabir misteri yang jauh lebih fundamental: hasrat untuk berkomunikasi dan merekam realitas secara visual telah tertanam dalam DNA para penghuni kepulauan ini sejak puluhan ribu tahun yang lalu. Kisah ini menjadi titik awal kita, sebuah petunjuk pertama dalam investigasi untuk memahami bagaimana tradisi visual yang luar biasa ini berevolusi menjadi sebuah bahasa estetika yang terus bernapas hingga kini.

Sama seperti seorang detektif yang merangkai petunjuk, memahami desain visual Nusantara menuntut kita untuk melihat lebih dari apa yang tampak di permukaan. Petunjuk pertama terletak pada pengakuan bahwa setiap motif memiliki “tata bahasa”-nya sendiri. Pola-pola ini tidak lahir dari keisengan, melainkan dari observasi alam, sistem kepercayaan, dan struktur sosial yang mengakar kuat.

Sejalan dengan gagasan yang diungkapkan oleh akademisi studi budaya visual, Yasraf Amir Piliang (2003). Ia menjelaskan bahwa dalam masyarakat tradisional, tanda visual seperti motif pada kain bukanlah sekadar hiasan, melainkan sebuah “medan makna” yang terhubung langsung dengan sistem kepercayaan dan tatanan kosmos mereka. Memandang ragam hias Nusantara hanya sebagai dekorasi adalah seperti membaca kitab suci hanya dari sampulnya.

Pernyataan ini mengantar kita pada petunjuk kedua: setiap goresan dan warna dalam desain tradisional Nusantara adalah untaian DNA visual. Ia membawa informasi genetik tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan nilai-nilai apa yang kita anut. Jika El Nino adalah tamu tak diundang di pesta lautan yang mengubah seluruh ekosistem, maka modernisasi bisa menjadi tamu serupa bagi warisan visual ini. Tanpa pemahaman mendalam, ia bisa mengaburkan atau bahkan menghapus makna aslinya, menyisakan cangkang visual tanpa jiwa.

Studi Kasus: Misteri di Balik Batik Parang Rusak

Dok.Visualis.id

Mari kita selidiki salah satu “tersangka” utama dalam khazanah desain Nusantara: Batik Parang Rusak. Secara visual, motif ini terlihat seperti barisan huruf ‘S’ yang saling menjalin tanpa putus. Bagi mata yang tak terlatih, ia hanyalah pola geometris yang dinamis. Namun, bagi seorang “detektif budaya”, di sinilah misteri mulai terkuak.

‘Parang’ berarti pisau atau pedang, dan ‘rusak’ berarti patah atau rusak. Secara harfiah, ia melambangkan pertarungan tanpa henti melawan kejahatan dan hawa nafsu. Garis diagonal 45 derajat yang tegas merepresentasikan kecepatan, ketangkasan, dan kesinambungan sebuah pesan bahwa perjuangan untuk menjadi manusia yang lebih baik tidak pernah boleh berhenti.

Dahulu, motif ini adalah larangan hanya boleh dikenakan oleh raja dan keturunannya di lingkungan keraton Mataram. Mengenakannya berarti memanifestasikan kekuatan, legitimasi, dan kebijaksanaan seorang pemimpin. Motif ini menjadi penanda kelas sosial sekaligus pengingat akan tanggung jawab besar yang diemban. Kini, Batik Parang telah didemokratisasi, dikenakan oleh siapa saja. Namun, apakah “DNA visual” di dalamnya masih terbaca?

Ini adalah tantangan terbesar kita. Sebagaimana ditekankan oleh budayawan Jakob Soemardjo (2000), simbol-simbol dalam kebudayaan adalah “wadah ingatan” yang menyimpan memori kolektif sebuah bangsa. Ketika kita melupakannya, kita tidak hanya kehilangan gambar, kita mengalami amnesia sejarah dan identitas. Ini adalah tantangan terbesar kita: bagaimana menerjemahkan bahasa visual ini untuk generasi sekarang tanpa merusaknya. Desainer modern kini mengadaptasi Parang menjadi logo perusahaan, pola interior, hingga motif pada sneakers. Adaptasi ini adalah bukti bahwa warisan ini terus bernapas, namun memerlukan “penerjemah” yang sadar akan makna aslinya.

Pewaris Sekaligus Pembaharu

Dari penemuan seorang arkeolog hingga analisis mendalam motif Parang, kita melihat sebuah benang merah yang tak terbantahkan: desain visual tradisional Nusantara adalah sebuah perpustakaan intelektual yang maha kaya. Ia bukan sekadar artefak bisu yang tersimpan di museum, melainkan entitas hidup yang terus berevolusi.

Kini, bola ada di tangan kita. Warisan ini bukanlah beban masa lalu, melainkan kompas untuk masa depan. Tantangannya bukan hanya melestarikan dengan cara membekukannya dalam waktu, tetapi mengalirkan kembali filosofinya ke dalam denyut kehidupan modern. Kita dituntut untuk tidak hanya menjadi pewaris yang setia, tetapi juga pembaharu yang cerdas mampu membaca ulang DNA visual nenek moyang kita untuk merancang identitas Indonesia di panggung dunia. Sebab, dalam setiap ukiran kayu Toraja, tenun ikat Flores, dan goresan canting di Jawa, tersimpan jawaban atas pertanyaan abadi: siapa kita?

Daftar Referensi

  1. Brumm, A., Oktaviana, A. A., Burhan, B., Hakim, B., Lebe, R., Zhao, J.-x., Sulistyarto, P. H., Ririmasse, M., Sardi, R., Jusdi, A., Abdullah, & Aubert, M. (2021). Oldest cave painting in the world. Science Advances, 7(3), eabd4648. DOI: 10.1126/sciadv.abd4648

(Catatan: Ini adalah referensi jurnal ilmiah asli yang mengumumkan penemuan lukisan babi berusia 45.500 tahun yang dilakukan oleh tim Adhi Agus Oktaviana dan rekan-rekannya.)

2. Piliang, Y. A. (2003). Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

(Catatan: Buku ini menjadi dasar argumen bahwa desain/simbol dalam budaya tradisional bukanlah hiasan semata, melainkan sebuah sistem makna yang kompleks.)

3. Soemardjo, J. (2000). Filsafat Seni. Bandung: Penerbit ITB.

(Catatan: Buku ini dapat digunakan sebagai rujukan untuk gagasan bahwa simbol-simbol budaya, termasuk seni rupa, berfungsi sebagai wadah ingatan dan identitas sebuah masyarakat.)

Keep Up to Date with the Most Important News

By pressing the Subscribe button, you confirm that you have read and are agreeing to our Privacy Policy and Terms of Use
Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post

Gema Ekologi dalam Desain Komunikasi Visual

Next Post

Kembalinya Pasar Seni ITB, Panggung yang Dinanti Lintas Generasi