Pernahkah Anda benar-benar merasakan sebuah tulisan, bukan hanya membacanya? Merasakan kehangatannya, arogansinya, atau bahkan bisikan keraguannya hanya dari cara huruf-huruf itu berbaris di halaman? Kita sering lupa, di antara lautan informasi yang kita lahap setiap hari, bahwa tipografi adalah bahasa di dalam bahasa. Ia adalah pakaian yang dikenakan oleh kata-kata, dan pakaian itu, entah kita sadari atau tidak, menentukan kesan pertama kita.
Anggap saja kata adalah tubuh telanjang: sebuah ide murni. Tipografi adalah setelan jas yang rapi, atau mungkin kaus oblong yang pudar. Keduanya bisa menyampaikan pesan yang sama “datang ke acara kami”—tetapi yang satu terasa seperti undangan gala eksklusif, sementara yang lain lebih mirip ajakan nongkrong di teras belakang. Tidak ada yang salah, selama pakaiannya sesuai dengan acaranya. Masalah muncul ketika pesannya adalah ajakan nongkrong, tapi hurufnya memakai tuksedo.
Saya pernah membantu sebuah yayasan kecil yang bergerak di bidang literasi anak. Misi mereka luar biasa mulia: mengantarkan buku ke pelosok-pelosok desa. Orang-orang di baliknya adalah pribadi yang paling tulus yang pernah saya kenal, bekerja tanpa lelah. Namun, proposal penggalangan dana dan materi media sosial mereka punya satu masalah fatal. Semuanya ditulis menggunakan font yang sangat kasual dan kekanak-kanakan, diniatkan agar terlihat ramah anak. Hasilnya? Niat baik mereka jadi bumerang.
Saat mereka mengirim proposal ke perusahaan besar untuk meminta donasi serius, pesan visual yang diterima bukanlah “organisasi profesional dengan misi penting”, melainkan “proyek sampingan yang lucu”. Huruf-huruf itu, dengan bentuknya yang riang, secara tidak sadar meremehkan keseriusan masalah yang ingin mereka atasi. Suara mereka, yang seharusnya terdengar mendesak dan penuh harapan, malah terdengar seperti ajakan pesta ulang tahun anak-anak. Mereka kesulitan mendapatkan kepercayaan dari donatur besar.
Kami melakukan satu perubahan fundamental. Kami mengganti font utama mereka dengan sebuah font serif yang klasik dan mudah dibaca memberi kesan terdidik dan dapat dipercaya lalu dipadukan dengan font sans-serif yang bersih untuk judul agar tetap modern. Tiba-tiba, semuanya berubah. Proposal mereka dibaca dengan cara yang berbeda. Laporan tahunan mereka tampak kredibel. Mereka berhasil mendapatkan dana dari sebuah korporasi yang sebelumnya tidak pernah merespons. Tidak ada data yang diubah, tidak ada kata yang diganti dalam proposal itu, hanya “pakaiannya” saja.
Pengalaman ini menyadarkan saya betapa benarnya ucapan desainer tipografi legendaris, Erik Spiekermann, yang berkata: “Tipografi adalah detail sekaligus presentasi dari sebuah cerita. Ia mewakili suara dari sebuah atmosfer.” Dalam kasus yayasan itu, tipografi yang lama menceritakan kisah yang salah dengan suara yang naif. Sebaliknya, tipografi yang baru berhasil memberikan “suara” yang profesional dan tulus, sesuai dengan atmosfer keseriusan dan harapan yang mereka usung. Ia bekerja sebagai jembatan tak kasat mata antara niat dan persepsi.
Di sinilah letak poin yang mungkin sedikit kontroversial: memilih font yang “aman” terkadang adalah bentuk kemalasan yang paling berbahaya dalam komunikasi. Terlalu sering kita berlindung di balik pilihan standar seperti Arial atau Times New Roman untuk proposal atau presentasi penting, padahal keberanian memilih font serif yang sedikit lebih berwibawa atau sans-serif yang lebih modern bisa mengubah nada keseluruhan dokumen sebelum satu kata pun dibaca. Kita takut salah, jadi kita memilih untuk tidak bersuara sama sekali. Padahal, tipografi yang buruk bukan hanya yang jelek, tapi juga yang tidak mengatakan apa-apa.
Jadi, lain kali Anda membaca menu, melihat sebuah logo, atau bahkan membuka email, berhentilah sejenak. Jangan hanya membaca kata-katanya, coba dengarkan suaranya. Apakah ia berbisik atau berteriak? Apakah ia terdengar percaya diri, canggung, atau ramah? Karena di sanalah kekuatan sunyi itu bekerja, membentuk opini Anda jauh sebelum pikiran sadar Anda sempat ikut campur. Pertanyaannya bukan lagi “Apa yang ingin dikatakan tulisan ini?”, melainkan “Dengan suara yang mana ia berbicara kepada saya?” | D2m