Setelah sebelas tahun, akhirnya tradisi itu kembali. Bayangkan sebuah panggung yang lama mati suri, lampunya redup, debu menempel di sana-sini. Tiba-tiba, seseorang datang, membersihkannya, menyalakan kembali lampu, dan mengisi panggung itu dengan hiruk pikuk yang dinanti-nanti. Itulah yang sedang terjadi pada Pasar Seni ITB yang akan kembali digelar pada 19 Oktober 2025.
Ini bukan sekadar “pameran” atau “festival seni,” ini adalah momentum. Sebuah hajatan yang sempat vakum, seolah-olah ditelan bumi, kini muncul lagi. Mungkin selama sebelas tahun itu, para kreator muda hanya bisa mendengar cerita-cerita heroik dari seniornya, tentang bagaimana Pasar Seni di masa lalu menjadi tempat di mana seni dan semangat zaman bertemu. Mereka hanya bisa mengintip lewat foto-foto usang atau arsip digital. Namun kini, panggung itu nyata.
Laku, Temu, Laju: Saat Manusia dan Gawai Saling Senggol
Panitia mengusung tema Setakat Lekat: Laku, Temu, Laju. Terdengar rumit? Mari kita bedah. Tema ini seperti cermin yang memantulkan kondisi kita hari ini. Laku adalah respons kita sebagai manusia yang bergerak, yang tidak diam. Lalu ada Temu, yang menggarisbawahi pentingnya kolaborasi. Di era digital ini, kita memang mudah terhubung, tapi seringkali interaksi itu hanya di permukaan, tanpa sentuhan.
Di sini, Pasar Seni ITB hadir sebagai “tempat pertemuan” yang sesungguhnya, mempertemukan seniman, komunitas, dan publik secara fisik. Bukan sekadar menekan tombol “like” di Instagram. Terakhir, Laju menandai percepatan yang tak terhindarkan. Segala informasi, ide, dan tren bergerak sangat cepat. Pasar Seni ITB hadir sebagai wadah untuk menyalurkan energi yang “laju” itu menjadi sebuah karya yang konkret dan bermakna. Ibarat kanal irigasi yang mengalirkan air deras ke sawah-sawah, bukan membiarkannya tumpah sia-sia.

Lebih dari Sekadar Pesta Satu Hari
Ketua Pelaksana Kayla Hafsah dengan tegas menyatakan, “Pasar Seni ITB bukan selebrasi seni satu hari, tapi proses panjang yang menumbuhkan semangat kolektif.” Pernyataan ini penting. Ini bukan acara “pesta-pesta” yang setelahnya selesai begitu saja. Ini adalah sebuah “proses kuratorial” yang mengajak kita berpikir. Dari pameran “Kilas Balik: Lima Dekade Pasar Seni ITB” di Galeri Soemardja, kita diajak bernostalgia, melihat kembali bagaimana acara ini pernah menjadi ruang egaliter yang menghubungkan seniman dan publik.
Di masa lalu, Pasar Seni adalah etalase bagi seniman untuk menjajakan karyanya, bukan ke galeri mahal, melainkan langsung ke publik. Itu adalah satir yang menusuk bagi industri seni yang terkadang terlalu elitis. Dengan kembali digelarnya acara ini, kita melihat sebuah perlawanan, sebuah pernyataan bahwa seni itu untuk semua orang, bukan hanya untuk kalangan tertentu yang paham istilah-istilah rumit. Seni itu seharusnya seperti pasar, tempat di mana siapa saja bisa datang, melihat, dan bahkan memiliki.
Kembalinya Pasar Seni ITB setelah jeda sebelas tahun bukanlah sekadar “ulang tahun” yang dirayakan. Ini adalah sebuah titik balik. Yully Ambarsih, Alumni ITB 88, menyebutnya sebagai “momentum perubahan.” Dan benar adanya. Ini adalah kesempatan bagi kita semua untuk menghargai keberanian para mahasiswa yang telah menghidupkan kembali tradisi ini.
Jadi, ketika Pasar Seni ITB digelar nanti, jangan datang hanya sebagai penonton yang sekadar ingin swafoto. Datanglah sebagai bagian dari gerakan kolektif. Rasakan semangatnya. Nikmati karya-karyanya. Belilah sesuatu, sekecil apapun itu. Jangan biarkan ruang-ruang kreatif semacam ini kembali mati suri. Mari kita jadikan Pasar Seni ITB bukan sekadar acara yang pernah ada, tetapi sebagai tradisi yang harus terus ada. | Didi Subandi