Dark Mode Light Mode

Keep Up to Date with the Most Important News

By pressing the Subscribe button, you confirm that you have read and are agreeing to our Privacy Policy and Terms of Use
Follow Us
Follow Us
Berhenti Menyembah "Proses", Mulai "Mengerjakan"
KEMATIAN “PROSES”: Mengapa Dosenmu Masih Menyembah Design Thinking Saat Kita Sudah di Era Metodologi Pasca-Prompt?
Investigasi: Misteri Buku AI Gaib Milik AIDIA, Proyek "Petinggi" atau Lupa Dibagikan?

KEMATIAN “PROSES”: Mengapa Dosenmu Masih Menyembah Design Thinking Saat Kita Sudah di Era Metodologi Pasca-Prompt?

"Metodologi Pasca-Prompt: Alternatif Design Thinking Era AI" "Metodologi Pasca-Prompt: Alternatif Design Thinking Era AI"
"Metodologi Pasca-Prompt: Alternatif Design Thinking Era AI"
DISCLAIMER
Perlu kami tegaskan: Artikel ini adalah opini editorial, bukan laporan penelitian empiris yang kaku. ‘Metodologi Pasca-Prompt’ adalah framework konseptual yang kami usulkan untuk memantik api, bukan kebenaran absolut yang turun dari langit. Jika ada yang merasa tersindir baik Anda seorang praktisi, dosen yang terhormat, atau desainer yang (terpaksa) jadi ‘kuli’ eksekusi anggap saja ini love letter yang ditulis pakai amplas. Kritik kami tidak ditujukan untuk menyerang individu, tapi untuk membongkar sistem pedagogi dan industri yang mungkin sudah terlalu nyaman dalam tidur panjangnya. Jangan ditelan mentah-mentah, tapi silakan dipakai untuk berdebat.

Gue masih bisa ngerasain udaranya. Ruang kelas DKV di semester-semester tengah. Papan softboard penuh karya nirmana yang “sempurna”, dan poster 5 tahap Design Thinking yang mulai menguning di dinding. Dosen kita, dengan tulus, masih bicara soal “rasa” yang cuma bisa lahir dari 50 sketsa manual. Mereka masih menyembah “proses” sebagai sebuah ibadah. Kita semua mengangguk hormat.

Lalu kita pulang ke kamar kos kita. Kita buka laptop, nyalain Midjourney, dan melakukan ritual yang sebenarnya. Ritual yang kita sembunyikan rapat-rapat.

Di sinilah kebohongan kolektif itu dimulai. Kebohongan yang ironisnya, kita semua sepakati.

Ruang kelas DKV kita hari ini adalah sebuah museum. Serius.

Di dindingnya, masih terbingkai rapi poster 5 tahap suci Design Thinking: Empathize, Define, Ideate, Prototype, Test. Dosen-dosen kita (yang mungkin terakhir kali buka software di zaman mouse masih pakai bola) mengkhotbahkan ini layaknya sebuah agama. “Proses itu penting, Nak!” kata mereka.

Mereka menuntut kita melakukan brainstorming pakai sticky notes warna-warni. Mereka memaksa kita membuat 50 sketsa thumbnail manual di kertas kalkir. Mereka mengajari kita “proses” yang logis, terstruktur, dan… sejujurnya… lambatnya minta ampun.

Masalahnya? “Agama” itu sudah ditinggalkan. Para “umat”-nya sudah murtad.

Siapa umatnya? Kita. Desainer native digital. Generasi yang otaknya terhubung ke infinite scroll Pinterest, yang workflow-nya ada di Figma, dan yang “kitab suci”-nya adalah prompt Midjourney.

Di sinilah letak ironi terbesarnya: Para native digital ini (mungkin termasuk lo) sedang berbohong di ruang asistensi.

Di kamar kosnya jam 2 pagi, dia mengetik Javanese mask, cyberpunk, neon, cinematic lighting. Dalam 60 detik, dia dapat 4 opsi. Dalam 10 menit, dia dapat 100 opsi. Dia pilih satu yang paling gahar, dia “kanibal” sedikit, lalu dia bawa ke Photoshop.

Besoknya di kampus, dia “memalsukan” 50 sketsa manualnya agar terlihat “berproses” demi nilai.

Proses kreatif yang diajarkan di kampus telah menjadi sekadar formalitas birokratis untuk lulus. Sementara proses kreatif yang sebenarnya terjadi di “dapur kotor” mereka sebuah proses yang kacau, instan, dan brutal tidak pernah dipetakan.

Sampai sekarang!?

Mari kita berhenti berbohong. Mari kita bedah workflow baru ini. Kita butuh nama baru untuk metodologi yang sebenarnya kita pakai. Sebut saja ini: Metodologi Pasca-Prompt (PPM).

Runtuhnya Berhala Bernama “Proses”

Kenapa Design Thinking dan metodologi kuno lainnya jadi usang?

Karena mereka dirancang untuk dunia yang lambat dan analog. Mereka adalah framework yang bagus untuk konsultan bisnis yang dibayar per jam untuk meeting, bukan untuk desainer di gig economy yang dibayar per proyek dengan deadline besok pagi.

Design Thinking terobsesi dengan “memahami masalah” lewat proses empati yang panjang. Metodologi Pasca-Prompt (PPM) terobsesi dengan “menciptakan solusi” lewat kecepatan komputasi.

PPM membalikkan segalanya. Ia tidak lagi linier. Ia siklikal, cepat, dan kacau. Mari kita lihat perbedaannya.

PERANG ALUR PIKIR

METODOLOGI KONVENSIONAL

Linier

METODOLOGI PASCA-PROMPT

Leksikan

Alur baru ini punya 4 fase:

1. Fase Injeksi (Context Injection)

Lupakan Empathize berhari-hari. Ini adalah fase input brutal selama 5 menit. Kita “menginjeksi” bahan bakar ke otak kita dan otak mesin secara bersamaan: Brief klien + Prompt ke ChatGPT (“ide tema visual…”) + Scroll cepat Pinterest/Behance. Selesai.

2. Fase Iterasi (Generative Iteration)

Ini adalah jantungnya. Jantung yang berdetak 1000x lebih cepat. Ini bukan brainstorming (mencari ide). Ini brute-forcing (menghasilkan ide). Looping gila: Prompt -> Generate (4 opsi) -> Review (5 detik) -> Refine Prompt. Di sini kita bukan “mencari 1 ide bagus”, kita “menghasilkan 100 ide” untuk nanti dipilih.

3. Fase Kurasi & Kanibalisme (Curation & Cannibalism)

Di sinilah peran desainer beralih. Dari “Pencipta” menjadi “Kurator” atau “Editor”.

  • Kurasi: Di antara 100 opsi, mana yang “nendang”? Mana yang “tepat”, bukan cuma “bagus”?
  • Kanibalisme: Ini bagian favorit kita. “Gue suka komposisi Gambar A, palet warna Gambar B, dan detail robotik Gambar C.” Kita mutilasi hasil generate AI dan kita rakit ulang.

4. Fase Eksekusi Hibrida (Hybrid Execution)

Ini adalah post-processing. “Sentuhan manusia”. Hasil kanibalisme tadi dibawa ke “dapur” tradisional (Photoshop/Figma). Di sinilah kita “menjahit” semuanya. Memperbaiki artefak (dulu 6 jari, sekarang mungkin bayangan yang ngaco), masking manual, dan yang terpenting: menambahkan tipografi yang (masih) jadi kelemahan AI.


Selamat Tinggal “Keahlian” Tangan, Selamat Datang “Keahlian” Otak

Nah, ini bagian yang bikin dosen-dosen kita panik.

“Lalu, CRAFT (Keahlian)-nya di mana??”

Mereka panik karena definisi “keahlian” mereka adalah soal eksekusi. Jago pen tool. Jago arsir. Jago software. AI membunuh “keahlian” level kuli ini.

Metodologi Pasca-Prompt melahirkan Tiga Pilar Keahlian Baru. Pergeserannya bisa kita lihat di tabel berikut.

AspekDUNIA LAMA (Ortodoksi)DUNIA BARU (Pasca-Prompt)
Definisi “Keahlian”Keahlian Eksekusi (Jago pen tool, jago gambar, presisi software).Tiga Pilar Keahlian Baru: 1. Leksikal (Jago nulis prompt). 2. Kuratorial (Jago milih / “Rasa”-nya mahal). 3. Hibrida (Jago “njahit” / finishing).
Peran DesainerEksekutor / Kuli AhliDirektur Kreatif / Kurator / Orkestrator
Tantangan UtamaKelangkaan Ide “Gimana cara bikin 50 sketsa?”Kelimpahan Ide “Gimana cara milih 1 dari 100 opsi?”
Fokus PendidikanMengajar “Cara Membuat” (Eksekusi)Mengajar “Cara Memilih” (Strategi)
Tabel Perbandingan Keahlian Baru vs Keahlian Lama

Mari kita bedah Tiga Keahlian Baru itu:

  • Keahlian Leksikal (The Prompt Poet)

“Jago desain” sekarang berarti jago bahasa. Lo harus tahu beda makna cinematic vs dramatic. Lo harus puitis sekaligus teknis. Ini adalah skill menerjemahkan konsep visual di otak lo menjadi perintah teks yang dipahami mesin.

  • Keahlian Kuratorial (The Taste-Maker)

Ini craft yang paling abstrak dan paling mahal: RASA (TASTE). Di hadapan 100 opsi yang flawless dari AI, cuma desainer yang punya “rasa” yang tajam (paham Semiotika, Gestalt, dan konteks budaya) yang bisa memilih 1 opsi yang “tepat”.

  • Keahlian Hibrida (The Finisher)

Ini adalah “penjahit” ulung. Skill untuk tahu kelemahan AI dan cara ngakalin-nya. Kemampuan post-processing untuk mengubah gambar 90% (hasil AI) menjadi karya 100% (poles dan fungsional).


Kesimpulan: Mau Jadi Kuli atau Direktur?

AI tidak membunuh desainer. AI hanya membunuh desainer yang mentalnya kuli eksekusi.

AI memaksa kita berhenti jadi operator software dan naik kelas jadi Direktur Kreatif. Jadi Kurator. Jadi decision maker.

Masalahnya, kampus kita masih sibuk ngajarin “cara jadi kuli” yang jago pen tool.

Jadi, ini provokasi untuk kita semua, dan mungkin untuk para peneliti yang (pasti akan) mengutip artikel ini:

Pendidikan DKV tidak boleh lagi hanya berfokus pada “bagaimana cara membuat”. Kurikulum harus dirombak untuk mengajar “apa yang harus dipilih” dan “mengapa memilih itu”.

Pertanyaannya, apakah kampus kita siap?

 Frequently Asked Questions (FAQ)

1. Apa itu Metodologi Pasca-Prompt (PPM)?

Metodologi Pasca-Prompt adalah framework kreatif baru yang dirancang khusus untuk era AI dan tools generatif. Berbeda dengan Design Thinking yang linear dan lambat, PPM bersifat siklikal, cepat, dan iteratif dengan 4 fase utama: Injeksi Konteks, Iterasi Generatif, Kurasi & Kanibalisme, dan Eksekusi Hibrida.

2. Mengapa Design Thinking dianggap sudah usang?

Design Thinking dirancang untuk dunia analog yang lambat dengan proses empati berkepanjangan. Di era gig economy dengan deadline ketat dan tools AI yang bisa menghasilkan 100 ide dalam hitungan menit, metodologi ini menjadi terlalu birokratis dan tidak efisien.

3. Apakah PPM berarti desainer tidak perlu skill tradisional lagi?

Tidak. PPM justru membutuhkan kombinasi skill baru dan lama. Skill tradisional seperti penguasaan Photoshop/Figma tetap penting di fase Eksekusi Hibrida. Yang berubah adalah fokusnya – dari “eksekutor” menjadi “kurator” dan “direktur kreatif”.

4. Apa saja 3 Keahlian Baru yang dibutuhkan dalam PPM?

  • Keahlian Leksikal: Kemampuan menulis prompt yang efektif dan puitis
  • Keahlian Kuratorial: “Rasa” atau taste untuk memilih dari kelimpahan opsi
  • Keahlian Hibrida: Skill menjahit dan memoles hasil AI menjadi karya final

5. Bagaimana cara memulai menggunakan PPM?

Mulailah dengan:

  1. Pelajari tools AI seperti Midjourney, ChatGPT, Stable Diffusion
  2. Latih kemampuan prompt writing dengan eksperimen harian
  3. Praktikkan 4 fase PPM dalam proyek kecil
  4. Dokumentasikan dan iterasi prosesnya

6. Apakah PPM cocok untuk semua jenis proyek desain?

PPM paling efektif untuk proyek dengan deadline ketat, kebutuhan eksplorasi visual cepat, dan produksi konten skala besar. Untuk proyek yang membutuhkan riset mendalam atau solusi sangat spesifik, kombinasi dengan metodologi tradisional mungkin diperlukan.

7. Bagaimana PPM mempengaruhi nilai jual desainer?

PPM meningkatkan nilai desainer dari “tukang eksekusi” menjadi “strategic creative director”. Desainer yang menguasai PPM bisa menghasilkan output 10x lebih cepat dengan kualitas konsisten, membuatnya lebih kompetitif di pasar.

8. Apakah menggunakan AI dalam desain itu “curang”?

Tidak. AI adalah tools seperti halnya Photoshop atau pensil. Yang membedakan adalah bagaimana Anda menggunakannya. PPM justru membutuhkan kreativitas tinggi dalam kurasi, kombinasi, dan finishing.

9. Bagaimana dampak PPM terhadap pendidikan desain?

Pendidikan desain perlu direformasi untuk:

  • Mengajar “cara memilih” bukan hanya “cara membuat”
  • Fokus pada strategi kreatif dan kurasi
  • Integrasi AI tools dalam kurikulum
  • Pengembangan critical thinking untuk era kelimpahan visual

10. Apakah PPM akan menggantikan semua metodologi desain?

Tidak. PPM adalah salah satu tools dalam toolkit desainer. Untuk konteks tertentu, metodologi lain mungkin lebih sesuai. Yang penting adalah memahami kapan dan bagaimana menggunakan metodologi yang tepat.

11. Di mana saya bisa belajar lebih lanjut tentang PPM?

Saat ini PPM adalah konsep yang sedang berkembang. Anda bisa:

  • Bergabung dengan komunitas desainer yang eksperimen dengan AI
  • Ikuti perkembangan di platform seperti Discord, Twitter
  • Praktikkan dan bagikan pengalaman Anda
  • Tunggu penelitian dan case study lebih lanjut

12. Apakah klien akan menerima hasil kerja dengan PPM?

Klien peduli dengan hasil, bukan proses. Selama output berkualitas, tepat waktu, dan sesuai brief, metodologi yang digunakan adalah pilihan profesional desainer. Transparansi tentang penggunaan AI bisa menjadi nilai tambah.

Midjourney

panduan lengkap Midjourney untuk pemula

Link Eksternal (Outbound)

1. Referensi & Sumber

2. Tools AI yang Disebutkan

3. Komunitas & Learning

4. Research & Case Studies

Keep Up to Date with the Most Important News

By pressing the Subscribe button, you confirm that you have read and are agreeing to our Privacy Policy and Terms of Use
Add a comment Add a comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous Post
gajah-di-ruang-kelas-atau-studio-konsep-sebuah-metafora-visual-yang-menggambarkan-gajah-masa.jpg

Berhenti Menyembah "Proses", Mulai "Mengerjakan"

Next Post
Screenshot pencarian buku AI AIDIA tidak ditemukan

Investigasi: Misteri Buku AI Gaib Milik AIDIA, Proyek "Petinggi" atau Lupa Dibagikan?